Langsung ke konten utama

Tentang Kematian


                Siang ini, dalam perjalanan pulang dari kampus menuju kost’an, secara tak sengaja saya menjumpai iring-iringan banyak orang yang mengantar jenazah yang meninggal. Ramai sekali suasananya. Sempat membuat macet jalanan beberapa menit. Yang menggotong kerandanya pun sampai mengucapkan “Allahu Akbar,Allahu Akbar,Allahu Akbar” sambil menangis. Mungkin, yang meninggal adalah orang yang dihormati di kampungnya. Kemungkinan juga baik. Dan syukurlah, masih ada orang baik di dunia ini.

                Hanya, ada yang terlintas. Melihat si penggotong keranda dan yang lainnya menangis, saya jadi berpikir. Apakah kalau saya meninggal, orang-orang akan bersedih juga? Apakah ada orang yang menangisi kepergian saya? Berapa banyak yang akan bersedih? Atau, mereka akan menanggapinya dengan biasa saja?

                Pernahkah kamu berpikir seperti ini juga?

                Apakah ukuran berarti tidaknya hidup seseorang ditentukan dengan banyaknya orang yang mengantar jenazahnya sampai ke liang kubur? Atau ketika mendengar kamu tiada?

                Lantas, apa yang membuat si penggotong keranda dan yang lainnya menangis? Apakah mereka pernah ditolong oleh orang yang meninggal tersebut? Atau mereka kehilangan dengan sosok yang meninggal tersebut?

                Apakah perpisahan itu harus selalu diwarnai dengan air mata? Bukankah seharusnya kita bahagia? Karena mungkin yang meninggal tersebut sudah dapat tempat yang lebih nyaman di surga sana dan tidak perlu memikirkan keinginan dunia lagi.  Ah, entahlah.

                Sekarang, saya jadi sadar bahwa kematian itu milik semua orang. Ada fase ‘kematian’ sendiri di hidup setiap manusia. Tak perlu dihindari, yang terpenting kita siap dan bertobat sebelum kematian itu datang. Nah ini masalahnya. Saya sudah sadar, tapi juga belum bertobat dan tidak melakukan apa-apa. Duh.

Help me,God!

Komentar

Favorites

Sambil tak Henti-Hentinya Berharap

Terima kasih atas segala energiku yang kuhabiskan untuk bersabar, berdoa, menunggu, sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas badan ini yang tahan terhadap gempuran angin malam sepulang dari gereja, hujan badai yang deras maupun rintik, panas yang menyengat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang mempertemukanku dengan partnerku saat ini, yang tak segan dan berani mengajakku yang notabene tidak bisa apa apa ini untuk membuka usaha (semoga lancar kedepannya) sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih untuk orang orang hebat di belakangku. Mama, Grestikasari, Ojik, Clemen, Gerald dan Papa yang menempaku untuk hebat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih Tuhan Yesus, Terima kasih Semesta, Terima kasih Harapan, Sambil tak henti-hentinya berharap. Surabaya, 19 Februari 2019 Kaospolosclub Office Jl. Ngagel Jaya Barat No.33

Sebuah Tantangan Untuk Setia

“Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu nama dalam hati lalu berjanji tidak akan pernah mengkhianati”                                                                 Indri Mozzhel                                 Ya, kenapa tidak mencoba untuk setia? Malah mencoba selingkuh?                 Pertanyaan itu yang mendasari saya terhadap laki-laki di jaman sekarang ini. Saya tidak tahu mengapa laki-laki begitu mudahnya menyakiti perasaan hati seorang perempuan. Dengan cara selingkuh pula. Bukan berarti perempuan tidak bisa sih. Tapi memang, kebanyakan yang selingkuh dan yang dijadikan “objek” oleh sinetron-sinetron di Indonesia untuk berselingkuh adalah laki-laki. Dan saya sebagai laki-laki yang miris melihat   sinetron Indonesia yang seperti itu, tergerak untuk mengutarakan pendapat. Bahwa tidak semua laki-laki itu selingkuh.                 Alasannya? Ya saya. Saya tidak pernah selingkuh. Tapi pernah diselingkuhi. Hiks.                 Ah sudahlah, sakit hat