Langsung ke konten utama

Dulu Yang Tak Pernah Sepi


                Dulu, aku tak pernah merasakan susahnya mencari makan. Karena telah ada si suster yang menyiapkan aku makan.

                Dulu, aku tak pernah merasakan kesepian dan susahnya tertawa. Karena ada teman-temanku yang menghiburku di kala aku sedih dan sulit tertawa. Mereka tak lain adalah teman-teman di bawah naungan St Joseph brothers. Begitu kami menyebutnya

                Dulu, aku tak pernah merasakan susahnya kesulitan belajar. Ya karena itu tadi, ada teman-temanku yang siap membantuku untuk mengerti terhadap mata pelajaran yang tidak kumengerti.

                Dulu, aku tak pernah merasakan kegalauan. Karena ada para pastor pembimbing yang siap menampung segala masalahku ketika Bimbingan Rohani terjadi.

                Dulu, aku pernah merasakan nikmatnya naik gunung. Gunung Panderman tepatnya, di kawasan kota Batu. Bersama-sama menaiki tubuh gunung itu dengan jerih payah, dengan keringat, dengan jaket tebal yang membungkus badanku. Tentunya bersama teman-teman. Tak lain dan tak bukan, teman-teman St Joseph brothers.

                Dulu, bersama teman-temanku, aku akhirnya tahu bagaimana bertata krama yang baik. Bagaimana menggunakan bahasa jawa krama inggil alus dengan benar yang membuat kagum teman-teman di kampus. Ah, indahnya ternyata sebuah pembelajaran bersama teman-teman.

                Dulu, aku tak pernah merasakan bagaimana susahnya ketika uang habis. Karena dulu aku hidup di asrama. Makan disediakan. Minum, tinggal ambil. Mau tidur, tinggal berjalan sebentar ke kamar dengan kasur yang tidak begitu empuk, tapi nyaman. Tentunya bersama teman-teman.

                Dulu, aku tak bisa apa-apa. Semenjak bertemu dengan kawan-kawanku macam Beni, Denta, Ardian, Septian, Yosafat, Shandy, Tomy, Aldo, Sius dan semua kawan-kawan Joseph lainnya, akhirnya tanganku pandai memetik gitar. Aku mampu bermain basket dengan baik dan benar. Dan segala kemampuan yang sekarang kumiliki sebenarnya adalah sebagian kemampuan teman-temanku yang terserap dalam diriku. Indahnya

                Dulu, aku selalu belajar. Entah apa itu. Tepatnya pukul 18.00 WIB sampai 21.00 WIB. Itulah waktu dimana ilmu-ilmu di dunia ini kupahami dan kupelajari. Bersama teman-teman tentunya

                Dulu, aku selalu membaca dan meluangkan sedikit uangku untuk membeli buku. Aku pernah punya buku tentang Hitler, tapi raib entah kemana. Dan juga perpustakaan sekolahku dulu sangat canggih. Buku-bukunya pun tak kalah canggih. Buku tentang filosofi, tentang pembelajar, tentang Bahasa Latin, semuanya ada di sana. Bahkan, National Geographic-nya sangat lengkap. Keren.

                Dulu, aku rajin berdoa, pun juga rajin sambang ke kapel sekolahku. Memasrahkan diri ini sepenuhnya ke Tuhan supaya selamat dunia akhirat. Begitu khusyuk ketika misa berlangsung. Tak jarang saking khusyuknya, waktu pastor khotbah aku ketiduran. Hebat bukan?

                Ya, itu semua ‘dulu’ yang kurasakan. Entah kenapa, aku sangat rindu dengan semuanya itu. Apalagi teman-teman Joseph. Mencar sendiri-sendiri. Jarang berkumpul. Dan entah kebetulan atau tak sengaja, sore ini folder ‘Josephers’ di netbook kesayanganku ku-klik. Bernostalgia kembali bersama mereka. Walaupun hanya sekedar foto. Melihat semua senyum mereka yang tulus. Dan, melihat kebahagiaan yang terpancar di dalam foto itu, ingin sekali rasanya masuk ke dalam foto tersebut kemudian mengulangnya lagi bersama teman-teman.

                Asal kamu tahu, disini aku kesepian. Keluargaku pun juga mencar-mencar. Jarang berkumpul juga.

                Sekarang, yang senantiasa menemaniku hanya Fitri seorang. Good girlfriend lah kalau aku bilang. Walaupun dia sering marah-marah karena aku tak bisa mengerti situasinya yang sangat sibuk mengerjakan tugas kuliah. Mwah honey :3

                Ya, yasudahlah. Biarlah kesepian ini aku yang merasakannya sendiri. Semoga sepi ini tidak terlalu lama kurasakan. Semoga.

Salam,
                

Komentar

Favorites

Sambil tak Henti-Hentinya Berharap

Terima kasih atas segala energiku yang kuhabiskan untuk bersabar, berdoa, menunggu, sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas badan ini yang tahan terhadap gempuran angin malam sepulang dari gereja, hujan badai yang deras maupun rintik, panas yang menyengat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang mempertemukanku dengan partnerku saat ini, yang tak segan dan berani mengajakku yang notabene tidak bisa apa apa ini untuk membuka usaha (semoga lancar kedepannya) sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih untuk orang orang hebat di belakangku. Mama, Grestikasari, Ojik, Clemen, Gerald dan Papa yang menempaku untuk hebat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih Tuhan Yesus, Terima kasih Semesta, Terima kasih Harapan, Sambil tak henti-hentinya berharap. Surabaya, 19 Februari 2019 Kaospolosclub Office Jl. Ngagel Jaya Barat No.33

Sebuah Tantangan Untuk Setia

“Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu nama dalam hati lalu berjanji tidak akan pernah mengkhianati”                                                                 Indri Mozzhel                                 Ya, kenapa tidak mencoba untuk setia? Malah mencoba selingkuh?                 Pertanyaan itu yang mendasari saya terhadap laki-laki di jaman sekarang ini. Saya tidak tahu mengapa laki-laki begitu mudahnya menyakiti perasaan hati seorang perempuan. Dengan cara selingkuh pula. Bukan berarti perempuan tidak bisa sih. Tapi memang, kebanyakan yang selingkuh dan yang dijadikan “objek” oleh sinetron-sinetron di Indonesia untuk berselingkuh adalah laki-laki. Dan saya sebagai laki-laki yang miris melihat   sinetron Indonesia yang seperti itu, tergerak untuk mengutarakan pendapat. Bahwa tidak semua laki-laki itu selingkuh.                 Alasannya? Ya saya. Saya tidak pernah selingkuh. Tapi pernah diselingkuhi. Hiks.                 Ah sudahlah, sakit hat