Langsung ke konten utama

( Sekali Lagi ) Tentang Mimpi


Terkadang, mempunyai mimpi itu juga berarti sama dengan menanggung sebuah beban. Setidaknya itu yang saya rasakan hari ini. Mimpi-mimpi saya juga menjadi beban saya. Berani bermimpi, berani menambah beban hidup. Mbulet.

Kamu pasti tahu kan tulisan saya tentang mimpi berkuliah di Universitas Brawijaya yang akhirnya tidak terwujud? Ya, mimpi itu sampai sekarang terus menghantui saya. Dan kalau sudah berhubungan dengan hantu-hantu, pasti kamu akan merasa takut kan? Ya, saya juga takut. Takut kalau mimpi saya ini benar-benar tidak terwujud, alias nol gede, yang bisa dipersepsikan sebagai bualan belaka. Duh.

Hantu mimpi saya ini datang setiap saya lewat depan universitas negeri ternama yang ada di Surabaya. Apalagi kalau bukan Unair. Setiap saya lewat depan Unair, pikiran saya langsung melayang ke UB. Memang tidak ada hubungannya ya, tapi kan sama-sama universitas negeri, universitas terbaik, universitas dimana seluruh individu yang ada di negeri ini berlomba-lomba untuk masuk ke dalamnya. Dan kalau sudah begini, saya cuma bisa diam. Diam yang menandakan saya iri. Iri dengan anak-anak yang bisa masuk ke universitas ternama. Duh lagi deh.

Sebenarnya, punya rasa iri itu boleh apa tidak sih? Ada yang bilang iri itu menandakan bahwa kita tidak mampu. Tapi, saya mampu kok. Saya mampu bersaing dengan anak-anak yang bisa masuk universitas ternama. Saya mampu menyerap semua mata kuliah, dan saya saya yakin kalau saya mampu untuk ‘mampu-mampu’ yang selanjutnya. Atau memang faktor keberuntungan? Ah, sudahlah. Semakin berdebat, malah semakin menambah beban hidup. Semakin tidak fokus nantinya dengan apa yang saya cita-citakan.

**********

“ Wes bersyukur ae mbut. Ojok ngomel ae koyok presenter gosip”. Itulah sepenggal kalimat dalam pesan singkat yang dikirim oleh teman saya, Ryo. Yah, bagaimana lagi. Semua sudah terjadi. Kalau semakin ngomel, semakin menye-menye, malah hilang target saya untuk lulus S1 dalam rentang 3,5 tahun ke depan. Setidaknya, di universitas saya yang sekarang ini, saya masih bisa tertawa dengan kehadiran teman-teman yang mendukung saya. Yang menssuport saya layaknya Pep Guardiola menssuport Phillip Lahm dkk (Bayern Muenchen) ketika pertandingan melawan Manchester City minggu lalu. Yang akhirnya berbuah manis 2-1. Ah, indahnya.

Masya Allah, kayaknya saya lebih cocok jadi presenter bola ini daripada seorang sarjana. Maafkan, mungkin karena efek malam. Asem

Ya sudahlah. Nasi sudah menjadi sepiring bubur kacang hijau. Yang terpenting, saya harus semangat. Ya, semangat yang indah. Dibarengi dengan mimpi dan secuil beban.

Salam,

Komentar

Favorites

Sambil tak Henti-Hentinya Berharap

Terima kasih atas segala energiku yang kuhabiskan untuk bersabar, berdoa, menunggu, sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas badan ini yang tahan terhadap gempuran angin malam sepulang dari gereja, hujan badai yang deras maupun rintik, panas yang menyengat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang mempertemukanku dengan partnerku saat ini, yang tak segan dan berani mengajakku yang notabene tidak bisa apa apa ini untuk membuka usaha (semoga lancar kedepannya) sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih untuk orang orang hebat di belakangku. Mama, Grestikasari, Ojik, Clemen, Gerald dan Papa yang menempaku untuk hebat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih Tuhan Yesus, Terima kasih Semesta, Terima kasih Harapan, Sambil tak henti-hentinya berharap. Surabaya, 19 Februari 2019 Kaospolosclub Office Jl. Ngagel Jaya Barat No.33

Sebuah Tantangan Untuk Setia

“Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu nama dalam hati lalu berjanji tidak akan pernah mengkhianati”                                                                 Indri Mozzhel                                 Ya, kenapa tidak mencoba untuk setia? Malah mencoba selingkuh?                 Pertanyaan itu yang mendasari saya terhadap laki-laki di jaman sekarang ini. Saya tidak tahu mengapa laki-laki begitu mudahnya menyakiti perasaan hati seorang perempuan. Dengan cara selingkuh pula. Bukan berarti perempuan tidak bisa sih. Tapi memang, kebanyakan yang selingkuh dan yang dijadikan “objek” oleh sinetron-sinetron di Indonesia untuk berselingkuh adalah laki-laki. Dan saya sebagai laki-laki yang miris melihat   sinetron Indonesia yang seperti itu, tergerak untuk mengutarakan pendapat. Bahwa tidak semua laki-laki itu selingkuh.                 Alasannya? Ya saya. Saya tidak pernah selingkuh. Tapi pernah diselingkuhi. Hiks.                 Ah sudahlah, sakit hat