Langsung ke konten utama

Untuk Kamu Yang Hobi Nongkrong

                Seiring bertambahnya usia, keinginan saya untuk nongkrong boleh dibilang  semakin berkurang.

                Ada rasa malas dan bosan dengan istilah “nongkrong” itu tadi.

                Pasalnya, nongkrong  jaman sekarang tidak senyaman jaman saya masih SMP ataupun SMA. Nongkrong jaman sekarang lebih banyak diisi dengan bermain gadget masing-masing. Yang main Get Rich lah, Whatsapp lah, LINE lah, BBM lah, Path lah, Instagram lah, ya pokoknya bermain dengan semua social media yang sedang trend belakangan ini.

                Padahal sejatinya, nongkrong menjadi salah satu sarana untuk berbagi pengalaman, berbagi cerita, pun juga berbagi tawa. Sehingga ketika selesai nongkrong, ada satu bingkisan pengalaman yang mungkin berguna di masa depan. Ini makna yang saya temukan dari “nongkrong” itu tadi.

                Saya betul-betul merasakan makna nongkrong tadi ketika saya masih SMA dulu. Kalau ingatan belum berkhianat, saya dan beberapa kawan karib semasa SMA sering melewati gelapnya malam sambil nongkrong. Istilah kami waktu itu sharing. Biasa kami lakukan setelah mengikuti doa malam di seminari dulu. Pun juga kita mencari tempat yang paling nyaman untuk sharing. Kadang di lapangan basket kompleks seminari, kadang di depan kelas komplek seminari, atau kalau situasi sedang mencekam (ini berkaitan dengan Romo Asrama kami yang berkeliling untuk memastikan bahwa anak-anak asrama sudah terlelap jauh dalam mimpi), biasanya kami memilih untuk sharing di tempat penjemuran pakaian. Hahaha. Konyol :D

                Tak ada kopi, tak ada pula yang namanya rokok, apalagi soda gembira. Jangan harap. Yang ada hanya sebungkus mie instan yang nantinya akan dikremes untuk menjadi teman sharing kami. Sederhana bukan?

Semua cerita, keluhan, dan solusi tumpah ruah saat sharing berlangsung. Ketika saya sedang mengalami kesusahan, kawan-kawan karib datang dan memeluk saya erat erat untuk tetap tegar dan kuat. Pun juga sebaliknya, saya akan memeluk erat kawan karib saya ketika dia mengalami kesusahan. Tak jarang pula kami tertawa mendengar cerita cerita konyol kawan karib. Sambil sesekali mengambil satu genggaman mie dan memasukkanya ke mulut kami. Kurang lebih begitulah gambaran umum dari sharing yang sering saya lakukan bersama kawan-kawan karib.

Ya setidaknya saya rindu dengan masa-masa tersebut. Rindu untuk tertawa tanpa beban. Rindu pula untuk dipeluk teman-teman ketika sedang ada masalah. Rindu juga untuk makan mie kremes. Rindu akan solusi yang diberikan sang kawan. Rindu untuk bercerita. Rindu untuk mendengar. Yah rindu merasakan kerinduan dan kesederhanaan sharing.

Tapi, bukan itu saja penyebab saya malas untuk nongkrong akhir-akhir ini. Ada alasan lain juga yang menjadi penyebabnya.

Seiring bertambahnya usia seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini, saya sadar kalau di usia saya yang sekarang ini, sudah bukan lagi waktunya untuk bermain dan nongkrong. Yang harus saya lakukan ialah mempersiapkan masa depan yang tinggal beberapa tahun lagi. Sering tiba-tiba ketika sedang sibuk, terlintas pikiran “10 tahun lagi aku jadi apa ya? Sudah bisa beli rumahkah? Sudah bisa membahagiakan orang-orang tersayangkah? Sudah mapankah?” . Pikiran-pikiran itu terus menghantui saya. Terus terngiang-ngiang di telinga saya. Menjadi cambuk positif bagi saya untuk terus berkarya dan produktif. Ini yang saya rasakan.

                Bayangkan, 10 tahun lagi umur saya sudah 30 tahun. 10 tahun sekarang itu cepat sekali. 2014 sudah masuk ke penghujung akhir. Sebentar lagi ulang tahun lagi dan masuk ke usia 21. Tinggal 9 tahun lagi. Lantas, kalau mau senang-senang terus, kapan mau maju? Kapan mimpi-mimpi saya bisa terwujud?

                Eitsss, tapi bukan berarti saya menghilangkan nongkrong dari kehidupan saya loh ya. Saya pada dasarnya senang nongkrong, ya karena itu tadi, untuk berbagi. Maksud saya menulis ini, mungkin ke depannya saya akan mengurangi intensitas saya untuk nongkrong. Mulai fokus ke masa depan. Fokus ke apa yang saya impikan. Saya tidak ingin menyesali masa depan saya dengan tangisan hanya gara-gara di masa sekarang saya isi dengan nongkrong terus. Ada waktunya untuk nongkrong, dan ada waktunya untuk fokus ataupun berkarya. Omnia tempus habeant. Semua ada waktunya sendiri-sendiri. Begitu kira-kira bunyi pepatah Latin yang saya dapatkan ketika SMA. Hitung-hitung sombong sedikit lah bisa Bahasa Latin hehe.

                Yasudah, ini yang bisa saya bagi untuk kamu-kamu semua yang menyempatkan datang ke blog ini. Kalau dilanjutkan, mungkin tulisan ini tambah melantur kemana-mana.

Bingung kan?

Maafkan.

Berkah dalem,
               

                

Komentar

Favorites

Sambil tak Henti-Hentinya Berharap

Terima kasih atas segala energiku yang kuhabiskan untuk bersabar, berdoa, menunggu, sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas badan ini yang tahan terhadap gempuran angin malam sepulang dari gereja, hujan badai yang deras maupun rintik, panas yang menyengat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang mempertemukanku dengan partnerku saat ini, yang tak segan dan berani mengajakku yang notabene tidak bisa apa apa ini untuk membuka usaha (semoga lancar kedepannya) sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih untuk orang orang hebat di belakangku. Mama, Grestikasari, Ojik, Clemen, Gerald dan Papa yang menempaku untuk hebat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih Tuhan Yesus, Terima kasih Semesta, Terima kasih Harapan, Sambil tak henti-hentinya berharap. Surabaya, 19 Februari 2019 Kaospolosclub Office Jl. Ngagel Jaya Barat No.33

Sebuah Tantangan Untuk Setia

“Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu nama dalam hati lalu berjanji tidak akan pernah mengkhianati”                                                                 Indri Mozzhel                                 Ya, kenapa tidak mencoba untuk setia? Malah mencoba selingkuh?                 Pertanyaan itu yang mendasari saya terhadap laki-laki di jaman sekarang ini. Saya tidak tahu mengapa laki-laki begitu mudahnya menyakiti perasaan hati seorang perempuan. Dengan cara selingkuh pula. Bukan berarti perempuan tidak bisa sih. Tapi memang, kebanyakan yang selingkuh dan yang dijadikan “objek” oleh sinetron-sinetron di Indonesia untuk berselingkuh adalah laki-laki. Dan saya sebagai laki-laki yang miris melihat   sinetron Indonesia yang seperti itu, tergerak untuk mengutarakan pendapat. Bahwa tidak semua laki-laki itu selingkuh.                 Alasannya? Ya saya. Saya tidak pernah selingkuh. Tapi pernah diselingkuhi. Hiks.                 Ah sudahlah, sakit hat