Langsung ke konten utama

Bebas Untuk Berbeda

Bebas.

Itu yang diinginkan manusia di dunia ini, bukan?

Menjadi manusia yang bebas, tanpa aturan, tanpa tekanan.

Tapi kenyataannya, selalu ada aturan di semua tempat ataupun semua kondisi. Aturan-aturan yang memaksa kita untuk mematuhi dan melaksanakannya.

Pengertian bebas menurut KBBI yakni lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dengan leluasa). Lepas yang artinya merdeka, tidak terjajah. Sayangnya, masih banyak orang-orang di dunia khususnya Indonesia yang kurang menghargai kebebasan sesamanya. Contoh yang paling sederhana yakni terkait dengan sistem pendidikan di Indonesia.

Indonesia menempati urutan terbawah bersama Meksiko dan Brasil dalam kualitas pendidikannya (sumber dari sini).  Saya tidak kaget dengan hasil survei tersebut. Dan juga tidak merasa prihatin. Selama 12 tahun saya sekolah hingga kuliah, guru-guru dan dosen saya lebih mengedepankan nilai daripada kualitas dan manfaat utama dari pendidikan itu. Dan saya rasa, kamu juga mengalami hal seperti ini. Buat apa kita membayar sekolah mahal-mahal kalau yang dicari hanya nilai? Apalagi ketika kuliah ini. Duh Gusti, kualitas dosen di kampus saya sangat sangat minimalis. Misalnya dalam hal keaktifan di kelas. Dosen saya selalu mengancam dengan kalimat begini;

“Kalian harus aktif ya di kelas saya. Kalau kalian aktif, kalian akan dapat nilai partisipasi. Kalau enggak aktif, ya sudah ga akan dapat nilai”.

Dan coba kamu tebak apa yang terjadi di kelas saya?

Ya! Teman-teman saya aktif hanya untuk formalitas belaka! Hasilnya muncul pertanyaan dan jawaban bodoh yang seharusnya tidak penting untuk dijawab dan ditanyakan. Macam “Apa yang dimaksud dengan kerangka, bu?”. Lha matamua! Kerangka aja gatau. Sudah sekolah berapa tahun kamu le,le?

Seharusnya, dosen saya ini gak perlu lah ngomong dengan nada mengancam seperti itu. Dengan adanya aturan seperti itu, mau tidak mau, penting tidak penting, akhirnya muncul jawaban dan pertanyaan yang tidak penting pula. Maksud saya begini, kalau dosen saya tidak bicara seperti itu, pasti kan mahasiswanya akan bertanya dengan sendirinya kalau mahasiswa ini tidak tahu. Dan akan muncul pertanyaan-pertanyaan berkualitas yang benar-benar ingin ditanyakan agar mendapat pemahaman yang jelas.

Inilah yang saya prihatinkan. Kualitas seseorang diukur dengan nilai yang tertera di ijazah. Padahal ada pepatah Latin yang bunyinya “Non Scholae Sed Vitae Discimuss” yang artinya “Sekolah bukan untuk nilai, tetapi untuk hidup”. Kalau nilainya bagus, berarti anak itu nantinya akan sukses. Kalau nilainya jelek, anak tersebut akan dicap dengan sebutan “bodoh, ga akan punya masa depan”. Seharusnya kita sadar bahwa setiap kemampuan orang-orang itu beda. Ada yang memang pandai dan cerdas di akademik. Ada pula yang pandai dan cerdas di bidang non akademik. Entah itu menyanyi lah, menulis lah, olahraga lah, dsb.

Nilai bukan satu-satunya acuan kamu menilai seseorang. Seharusnya ada lah dukungan untuk anak-anak yang kurang pandai di kelas. Dukungan yang benar-benar nyata. Tahu Tony Hawk? Pelopor Skateboard di dunia itu dulunya bukan murid yang pandai di kelasnya. Dia lebih senang berada di area skateboard dan memainkannya hingga petang menjelang. Bahkan dia berkali kali bolos dari sekolahnya hanya untuk bermain skateboard. Kepala sekolah di SMA-nya marah besar dengan kelakuan Tony saat itu. Tapi, ada salah satu guru yang mendukung Tony untuk bermain skateboard. Si guru ini menemui kepala sekolah dengan harapan agar Tony diberikan ijin untuk mengikuti kompetisi skateboard pertama di dunia saat itu. Akhirnya, kepala sekolah tersebut mengijinkannya. Singkat cerita, Tony gagal menjadi juara di kompetisi itu dan sempat putus asa untuk tidak mengikuti kompetisi lagi. Dia menganggap bahwa dirinya bukanlah orang yang berguna yang hanya bisa membuat onar. Namun, disinilah letak vital dari seorang pengajar. Si guru itu tetap mendukung dan menyakinkan bahwa suatu saat si Tony akan menjadi juara. Dan tahu apa yang terjadi kemudian? Setelah 3 kali mengikuti kompetisi yang sama, akhirnya Tony mampu menjadi juara 1 dan hebatnya lagi, juara 1 itu dia pertahankan hingga 5 kali. Sontak nama SMA tempat dia bersekolah terkenal dan banyak anak yang ingin masuk kesitu. Dan kini Tony bisa hidup hanya dari bermain skateboard. Dan satu-satunya skateboarder yang aksinya diabadikan dalam bentuk game oleh Sony. Keren kan?

Begini seharusnya seorang pengajar itu bertindak. Saya mohon ya kepada kamu ataupun orang orang lain yang membaca tulisan ini untuk meneruskan inti tulisan ini kepada guru ataupun dosen kalian. Manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Itu sudah kodratnya. Dan perbedaan itu tidak pantas untuk diseragamkan. Hargai dan junjung tinggi kebebasan sesama. Kalau bisa dukung agar kebebasan itu berbuah manis sama seperti kisah hidup si Tony. Agar nantinya, semua orang orang yang dicap dengan sebutan“bodoh”, justru yang akan membanggakan Indonesia nantinya. Bukan dengan nilai pastinya.

Berkah dalem,


Komentar

Favorites

Sambil tak Henti-Hentinya Berharap

Terima kasih atas segala energiku yang kuhabiskan untuk bersabar, berdoa, menunggu, sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas badan ini yang tahan terhadap gempuran angin malam sepulang dari gereja, hujan badai yang deras maupun rintik, panas yang menyengat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang mempertemukanku dengan partnerku saat ini, yang tak segan dan berani mengajakku yang notabene tidak bisa apa apa ini untuk membuka usaha (semoga lancar kedepannya) sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih untuk orang orang hebat di belakangku. Mama, Grestikasari, Ojik, Clemen, Gerald dan Papa yang menempaku untuk hebat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih Tuhan Yesus, Terima kasih Semesta, Terima kasih Harapan, Sambil tak henti-hentinya berharap. Surabaya, 19 Februari 2019 Kaospolosclub Office Jl. Ngagel Jaya Barat No.33

Sebuah Tantangan Untuk Setia

“Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu nama dalam hati lalu berjanji tidak akan pernah mengkhianati”                                                                 Indri Mozzhel                                 Ya, kenapa tidak mencoba untuk setia? Malah mencoba selingkuh?                 Pertanyaan itu yang mendasari saya terhadap laki-laki di jaman sekarang ini. Saya tidak tahu mengapa laki-laki begitu mudahnya menyakiti perasaan hati seorang perempuan. Dengan cara selingkuh pula. Bukan berarti perempuan tidak bisa sih. Tapi memang, kebanyakan yang selingkuh dan yang dijadikan “objek” oleh sinetron-sinetron di Indonesia untuk berselingkuh adalah laki-laki. Dan saya sebagai laki-laki yang miris melihat   sinetron Indonesia yang seperti itu, tergerak untuk mengutarakan pendapat. Bahwa tidak semua laki-laki itu selingkuh.                 Alasannya? Ya saya. Saya tidak pernah selingkuh. Tapi pernah diselingkuhi. Hiks.                 Ah sudahlah, sakit hat