Langsung ke konten utama

Perbedaan


                Oke,

                Ijinkan saya berbicara serius kali ini.

                Hehehe,

                Berkaitan dengan yang namanya perbedaan.

                Perbedaan bukanlah suatu ancaman. Tapi lebih dari itu. Perbedaan itu merupakan anugerah. Anugerah untuk saling menghargai sesama manusia yang berbeda. Kita diajak untuk menjunjung tinggi toleransi kepada sesama kita yang berbeda. Mungkin berbeda keyakinan atau agama, suku, ras, kebudayaan. Dan tugas utama kita yakni menghargai dan memberi tempat kepada mereka yang berbeda itu. Tak ada hal yang lebih baik selain menerima perbedaan itu.

                Pada dasarnya, semua manusia diciptakan sederajat. Betul kan ya?

                Saya menulis seperti ini atas dasar keprihatinan dan pengalaman saya pribadi berkaitan dengan yang namanya perbedaan. Saya berasal dari kaum yang sangat sangat minoritas. Terkhusus di Indonesia. Keturunan Chinese, agama Katolik. Minoritas sekali bukan? Ya, sangat minoritas.

                Pernah beberapa waktu yang lalu saya bertengkar dengan kawan karib saya karena ejekan dia kepada saya,

                “Oooo Kwaci (Keluwarga Cina) awakmu iku” kata si kawan kepada saya.

                Spontan saya marah dan bangkit berdiri. Menuju ke hadapannya sambil mencengkeram lehernya dengan kuat. Memang kawan karib saya ini hanya sebatas bercanda. Tapi, sudah beberapa kali dia bercanda dengan gaya seperti itu. Dan sudah beberapa kali pula saya mendiamkannya. Entah mengapa, hari itu saya sangat marah dan mulai habis kesabaran,

Jancuk, awakmu lek gak gelem koncoan ambe aku gara-gara aku Chinese, yowes minggiro. Ga butuh konco koyo awakmu. Awakmu respect ambe aku, aku bakal lebih respect ambe awakmu. Aku ngamuk koyo ngene ben awakmu lebih apik.”  kata saya marah.

Dia pun lantas meminta maaf kepada saya. Dan saya pun sudah memaafkannya. Namun, sejak kejadian itu hingga tulisan ini dibuat, dia jarang mampir ke kost’an saya. Entah mengapa, yang jelas saya sudah memaafkannya. Urusan dia ingin berteman kembali atau tidak, saya tidak peduli. Yang jelas, saya masih menganggapnya sebagai seorang kawan. Kawan karib malahan.

Saya bingung dengan orang-orang yang lantas menjadikan perbedaan sebagai sebuah lelucon. Kalau boleh saya beri sebutan, saya akan menyebut mereka ini sebagai orang bodoh. Ya, orang bodoh. Orang bodoh yang tidak mengerti bagaimana rasanya berada di kaum yang mayoritas sementara dirinya sendiri minoritas. Coba mereka ini bisa merasakannya, mungkin Indonesia akan jauh lebih baik khususnya dalam hal menerima perbedaan. Hufft.

Sekarang begini saja lah. Saya beri contoh “menerima perbedaan yang baik” itu seperti apa. Misalnya dalam hal idola. Kamu kamu mengidolai seseorang bukan karena dia beragama apa kan? Bukan karena dia keturunan apa kan? Kamu mengidolai seseorang karena kemampuan si idola itu yang akhirnya membius kekaguman kamu. Betul kan? Nah seharusnya hal seperti itu bisa juga diterapkan di kehidupan kita sehari hari khususnya dalam hal menerima perbedaan. Bukan agama atau ras atau suku yang orang ingat dari sesamanya. Melainkan kemampuan, kebaikan, perilaku yang mereka lakukan sehingga orang lain mengingatnya,

“Kenal sama Ustad Uje gak kamu?” kata si A yang beragama Muslim kepada si B yang beragama Kristiani

“Ooo, Ustad Uje yang kalau khotbah itu gaul itu ya? Yang baik itu kan ya? Yang orangnya begini begitu blablablabla”.

Seharusnya begitu. Perbedaan bukanlah halangan untuk mengidolai seseorang yang kita kagumi. Kita kagum dengan seseorang karena kemampuannya. Dan seharusnya begitu juga sikap kita dalam hal menerima perbedaan yang notabene terjadi di setiap kehidupan orang. perbedaan bukanlah halangan juga untuk kita berkawan baik dengan semua orang yang berbeda. Andai ini terjadi di Indonesia, tidak bisa saya bayangkan bagaimana aman dan tenteramnya negara ini.

Manusia lahir dengan hak asasi yang sama. Hak mereka agar dapat diterima. Hak mereka untuk bersosialisasi. Makanya saya sangat benci dengan kaum-kaum yang fanatik. Kaum-kaum yang menyombongkan agama mereka dan menjatuhkan perbedaan. Jancuk seribu jari tengah untuk kaum ini.
 
Ya, mungkin saya masih harus menunggu lebih lama lagi agar masyarakat Indonesia bisa menerima perbedaan seperti yang saya sebutkan di atas. Mungkin juga hal ini sulit terjadi karena kehadiran kaum-kaum fanatik yang seperti itu. Bikin jengkel saja.

Hmmm, omong-omong, tulisan saya keren ya? Hahahaha. Tak disangka saya bisa menulis seperti ini. Hehehe. Kemasukan setan apa sampai bisa membuat tulisan seperti ini. hehehe. Yang jelas ini yang saya rasakan. Ini yang saya resahkan. Dan saya hanya ingin berbagi dengan kamu semuanya. ;)

Berkah dalem,


                

Komentar

Favorites

Sambil tak Henti-Hentinya Berharap

Terima kasih atas segala energiku yang kuhabiskan untuk bersabar, berdoa, menunggu, sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas badan ini yang tahan terhadap gempuran angin malam sepulang dari gereja, hujan badai yang deras maupun rintik, panas yang menyengat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang mempertemukanku dengan partnerku saat ini, yang tak segan dan berani mengajakku yang notabene tidak bisa apa apa ini untuk membuka usaha (semoga lancar kedepannya) sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih untuk orang orang hebat di belakangku. Mama, Grestikasari, Ojik, Clemen, Gerald dan Papa yang menempaku untuk hebat sambil tak henti-hentinya berharap. Terima kasih Tuhan Yesus, Terima kasih Semesta, Terima kasih Harapan, Sambil tak henti-hentinya berharap. Surabaya, 19 Februari 2019 Kaospolosclub Office Jl. Ngagel Jaya Barat No.33

Sebuah Tantangan Untuk Setia

“Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu nama dalam hati lalu berjanji tidak akan pernah mengkhianati”                                                                 Indri Mozzhel                                 Ya, kenapa tidak mencoba untuk setia? Malah mencoba selingkuh?                 Pertanyaan itu yang mendasari saya terhadap laki-laki di jaman sekarang ini. Saya tidak tahu mengapa laki-laki begitu mudahnya menyakiti perasaan hati seorang perempuan. Dengan cara selingkuh pula. Bukan berarti perempuan tidak bisa sih. Tapi memang, kebanyakan yang selingkuh dan yang dijadikan “objek” oleh sinetron-sinetron di Indonesia untuk berselingkuh adalah laki-laki. Dan saya sebagai laki-laki yang miris melihat   sinetron Indonesia yang seperti itu, tergerak untuk mengutarakan pendapat. Bahwa tidak semua laki-laki itu selingkuh.                 Alasannya? Ya saya. Saya tidak pernah selingkuh. Tapi pernah diselingkuhi. Hiks.                 Ah sudahlah, sakit hat