Salah
satu cita-cita saya yang sudah lewat alias tidak terwujud adalah kuliah di
Universitas Brawijaya. Ya, Universitas Brawijaya yang berada di Paris Van Java-nya Jawa Timur, Malang.
Entah, saya merasa sedih ketika harus mengingat peristiwa ini. Kesal, Jengkel,
dan merasa sakit hati karena telah mendaftar 2 kali di UB, tapi tetap saja
gagal. Mulai dari ikut SNMPTN, SBNMPTN, SPMK-nya pun saya coba, tapi tetap saja
tidak membuat saya diterima di UB. Yaelah bro
Ada 2
alasan yang mendasari saya mempunyai cita-cita untuk berkuliah di Brawijaya
ini. Yang pertama, jelas saya ingin kuliah di salah satu Universitas terbaik di
Indonesia, apalagi di tahun 2013 ini, UB masuk 10 besar Universitas terbaik di
Indonesia. Siapa sih yang tidak mau dan tidak tergiur dengan penghargaan tersebut?
Bayangkan, 10 besar Indonesia, mbak mas bro! Sudah jelas, bahwa UB memang
terbaik dan berhasil mencetak banyak alumnus-alumnusnya yang berguna untuk
perkembangan negeri ini. Tapi, impian saya pupuslah sudah. Dengan tidak
diterimanya saya di UB, sudah pasti saya tidak akan berkuliah UB. Ya, harapan
terkadang tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi ya. Yasudahlah. Fuckin’ hope, fuckin’ reality.
Kemudian
alasan saya yang kedua adalah, MALANG! Saya kan pernah bilang di postingan saya
yang berjudul “Malang di Minggu ini” bahwa saya mencintai Malang. Kotanya yang
asri, rindang, hijau, sejuk, dingin, klasik layaknya Bandung di tahun 70-80an
membuat saya nyaman dan betah berada di Malang, karena memang saya orang Malang
dan kebanyakan keluarga dari pihak Ibu berada di Malang juga. Jadi, sudah layak
dan sepantasnya saya berada di habitat asli saya. Hehehe.
Jika
diharuskan memilih Surabaya atau Malang, saya akan tetap memilih Malang.
Memang, Surabaya menjadi salah satu metropolitannya Indonesia. Begitu luas,
begitu modern, begitu minimalis, begitu canggih, dan begitu begitu lagi yang
lainnya. Tapi, karena saking begitunya, membuat Surabaya tidak nyaman untuk
ditinggali. Panas, macet, biaya hidup mahal sudah menjadi ciri khas Surabaya.
Bandingkan dengan Malang. Di Malang, dengan uang 3500 perak saja, kalian sudah
dapat jus strawberry satu botol penuh campur susu. Di Surabaya? Jus strawberry
satu botol penuh campur susu harganya mencapai 8000 perak. Awesome! Harganya sinting sekali, 4500 perak
pertambahannya. Itu 4500 ditambah 1500 saja, sudah dapat pulsa IM3 5000 dengan
gratis nelpon 100 menit dan 1000 sms perhari. Ckckck, belum lagi jika tubuh
kalian terkena sengatan panasnya Surabaya. 5 menit terkena sengatan panasnya
Surabaya, mungkin sudah meleleh. Saya pernah bersepeda motor tanpa jaket dari
kost saya di daerah Kalijudan ke Galaxy Mall yang jaraknya kurang lebih 2 km.
Tangan saya gosong bak orang Negro. Suilit!
Belum lagi macetnya
Surabaya. Biyuh biyuh, panas dan
macet bercampur menjadi satu rasa yang sungguh tidak membuat nyaman. Walaupun
di Malang juga macet, tapi setidak-tidaknya kan dingin. Jadi ketika terjebak
macet di Malang, setidaknya kita masih disuguhi dengan hawanya Malang yang
dingin. Ya, walaupun Surabaya sudah begitu modern, tapi masih banyak
kekurangannya. Ibu saya pernah bilang:
“Duh duh, Suroboyo iki
tambah suwi tambah nggilani yo. Padahal biyen pas jamanku gak koyo ngene loh
Suroboyo iku” (Duh duh, Surabaya ini tambah lama tambah menjijikkan ya.
Padahal dulu waktu jamanku tidak seperti ini loh Surabaya itu).
Ya
kesimpulannya, masih bagus Surabaya yang dulu daripada sekarang. Walaupun
sekarang banyak gedung-gedung tinggi dan mall berceceran di jalanan Surabaya,
tapi tetap saja tidak mampu membalikkan suasana Surabaya yang seperti dulu.
Malah hilang. Kasihan
Hmm,
sebenarnya saya tidak ada maksud untuk menjelek-jelekkan Surabaya ya. Saya cuma
miris saja. Surabaya sekarang sudah sangat elit, dan pelit. Cocok untuk
ditinggali oleh orang-orang yang sudah berada dan kaya. Tidak cocok untuk
mahasiswa-kere-yang-selalu-ingin-makan-enak seperti saya ini. Hehehe.
Salah satu
teman saya yang beruntung bisa kuliah di UB adalah Beni. Mengambil Fakultas
Teknologi Pertanian. Pernah beberapa kali saya main ke kos-kosannya yang berada
di Gading Kasri. Harga sewa kost-nya selama sebulan hanya 150.000. Bukankah asu gitu itu? Di Surabaya tidak ada kost
yang harganya sangat jancukan seperti itu. Kalaupun ada, mungkin 150.000 itu
belum boleh pake air dan listriknya. Dan kemungkinan besar, kotor! Ya, betapa
jauh perbedaan yang sangat sangat asu
seperti itu.
Haduh,
menulis tentang Malang membuat saya ingin main ke sana. Saya rindu dengan jus
strawberry plus susu-nya Malang. Murah, enak, bikin kenyang. Saya rindu dengan
hawa-nya Malang. I’m so sick to think
about it. Rindu itu gak enak. Mau makan ga enak, Mau tidur ga enak, Mau
main ga enak, bawaannya rindu melulu. Beban rindu ternyata lebih berat daripada
beban tugas kuliah. Grrr....
Akhirnya,
sekarang ini saya kuliah di salah satu Universitas Swasta di Surabaya. Rasanya malas
sekali, tapi ya mau bagaimana lagi. Saya toh harus tetap mensyukurinya. Cara mensyukurinya
ya dengan memiliki target. Kelak, target saya adalah lulus dalam waktu 3 atau
3,5 tahun. Setelah itu mengambil S2 di UB atau di UGM, dua Universitas yang bikin
saya merinding. Toh, pendidikan itu mengacuhkan yang namanya umur. Yang terpenting,
saya bisalah mencuri ilmu di UB, walaupun masih harus menunggu. Huhuhu.
Hmmm,
Malang. Saya rindu sama kamu. Secepatnya saya akan mengunjungimu. Bernostalgia denganmu.
Saya sudah rindu dengan terpaan hawamu, dengan kemurahanmu. Eksotis.
21.50
Sembari menonton OVJ yang semakin lama semakin tidak lucu :)
Komentar