Oke,
Ijinkan
saya berbicara serius kali ini.
Hehehe,
Berkaitan
dengan yang namanya perbedaan.
Perbedaan
bukanlah suatu ancaman. Tapi lebih dari itu. Perbedaan itu merupakan anugerah. Anugerah
untuk saling menghargai sesama manusia yang berbeda. Kita diajak untuk
menjunjung tinggi toleransi kepada sesama kita yang berbeda. Mungkin berbeda
keyakinan atau agama, suku, ras, kebudayaan. Dan tugas utama kita yakni
menghargai dan memberi tempat kepada mereka yang berbeda itu. Tak ada hal yang
lebih baik selain menerima perbedaan itu.
Pada dasarnya,
semua manusia diciptakan sederajat. Betul kan ya?
Saya menulis
seperti ini atas dasar keprihatinan dan pengalaman saya pribadi berkaitan
dengan yang namanya perbedaan. Saya berasal dari kaum yang sangat sangat
minoritas. Terkhusus di Indonesia. Keturunan Chinese, agama Katolik. Minoritas sekali
bukan? Ya, sangat minoritas.
Pernah
beberapa waktu yang lalu saya bertengkar dengan kawan karib saya karena ejekan
dia kepada saya,
“Oooo
Kwaci (Keluwarga Cina) awakmu iku”
kata si kawan kepada saya.
Spontan
saya marah dan bangkit berdiri. Menuju ke hadapannya sambil mencengkeram
lehernya dengan kuat. Memang kawan karib saya ini hanya sebatas bercanda. Tapi,
sudah beberapa kali dia bercanda dengan gaya seperti itu. Dan sudah beberapa
kali pula saya mendiamkannya. Entah mengapa, hari itu saya sangat marah dan
mulai habis kesabaran,
“Jancuk, awakmu lek gak gelem koncoan ambe aku gara-gara aku Chinese, yowes
minggiro. Ga butuh konco koyo awakmu. Awakmu respect ambe aku, aku bakal lebih
respect ambe awakmu. Aku ngamuk koyo ngene ben awakmu lebih apik.” kata saya marah.
Dia pun lantas meminta maaf
kepada saya. Dan saya pun sudah memaafkannya. Namun, sejak kejadian itu hingga
tulisan ini dibuat, dia jarang mampir ke kost’an saya. Entah mengapa, yang
jelas saya sudah memaafkannya. Urusan dia ingin berteman kembali atau tidak,
saya tidak peduli. Yang jelas, saya masih menganggapnya sebagai seorang kawan. Kawan
karib malahan.
Saya bingung dengan orang-orang
yang lantas menjadikan perbedaan sebagai sebuah lelucon. Kalau boleh saya beri
sebutan, saya akan menyebut mereka ini sebagai orang bodoh. Ya, orang bodoh. Orang
bodoh yang tidak mengerti bagaimana rasanya berada di kaum yang mayoritas
sementara dirinya sendiri minoritas. Coba mereka ini bisa merasakannya, mungkin
Indonesia akan jauh lebih baik khususnya dalam hal menerima perbedaan. Hufft.
Sekarang begini saja lah. Saya beri
contoh “menerima perbedaan yang baik” itu seperti apa. Misalnya dalam hal
idola. Kamu kamu mengidolai seseorang bukan karena dia beragama apa kan? Bukan karena
dia keturunan apa kan? Kamu mengidolai seseorang karena kemampuan si idola itu
yang akhirnya membius kekaguman kamu. Betul kan? Nah seharusnya hal seperti itu
bisa juga diterapkan di kehidupan kita sehari hari khususnya dalam hal menerima
perbedaan. Bukan agama atau ras atau suku yang orang ingat dari sesamanya. Melainkan
kemampuan, kebaikan, perilaku yang mereka lakukan sehingga orang lain
mengingatnya,
“Kenal sama Ustad Uje gak kamu?”
kata si A yang beragama Muslim kepada si B yang beragama Kristiani
“Ooo, Ustad Uje yang kalau
khotbah itu gaul itu ya? Yang baik itu kan ya? Yang orangnya begini begitu
blablablabla”.
Seharusnya begitu. Perbedaan bukanlah
halangan untuk mengidolai seseorang yang kita kagumi. Kita kagum dengan
seseorang karena kemampuannya. Dan seharusnya begitu juga sikap kita dalam hal
menerima perbedaan yang notabene terjadi di setiap kehidupan orang. perbedaan
bukanlah halangan juga untuk kita berkawan baik dengan semua orang yang
berbeda. Andai ini terjadi di Indonesia, tidak bisa saya bayangkan bagaimana
aman dan tenteramnya negara ini.
Manusia lahir dengan hak asasi
yang sama. Hak mereka agar dapat diterima. Hak mereka untuk bersosialisasi. Makanya
saya sangat benci dengan kaum-kaum yang fanatik. Kaum-kaum yang menyombongkan
agama mereka dan menjatuhkan perbedaan. Jancuk seribu jari tengah untuk kaum
ini.
Ya, mungkin saya masih harus
menunggu lebih lama lagi agar masyarakat Indonesia bisa menerima perbedaan
seperti yang saya sebutkan di atas. Mungkin juga hal ini sulit terjadi karena
kehadiran kaum-kaum fanatik yang seperti itu. Bikin jengkel saja.
Hmmm, omong-omong, tulisan saya
keren ya? Hahahaha. Tak disangka saya bisa menulis seperti ini. Hehehe. Kemasukan
setan apa sampai bisa membuat tulisan seperti ini. hehehe. Yang jelas ini yang
saya rasakan. Ini yang saya resahkan. Dan saya hanya ingin berbagi dengan kamu
semuanya. ;)
Berkah dalem,
Komentar