Sebelum
Pemilu Legislatif 9 April 2014 yang lalu, ada banyak sekali spekulasi yang tak
sedap ya. Menurut saya sih ini. Dan yang paling banyak dibahas ataupun yang
saya dengar, yakni berkaitan soal Golput. Singkatan dari Golongan Putih, atau
gampangannya tidak memihak partai manapun di Pemilu kemarin. Banyak yang
mengecam kehadiran masyarakat-masyarakat golput tersebut. Alasannya “Satu suara
bisa mengubah dunia. Jadi jangan golput”. Mengubah dunia ndiasmu sempal ki ye. Satu suara kalo dipersenkan ke hasil penghitungan
cepat (atau nama kerennya Quick Count),
ya jelas tidak akan berpengaruh apa-apa, kecuali satu suara tersebut dikalikan
dengan banyaknya orang yang memilih partai tersebut. Ya kan, begitu kan ya?
Saya resah
dengan sindiran orang-orang berkaitan dengan golput ini. Karena dalam Pemilu
kemarin, saya masuk dalam golongan putih ini. Bukan berarti saya tidak cinta
Indonesia ataupun tidak menghargai kerja keras orang-orang di balik
terselenggaranya Pemilu ini ya, tapi memang saya tidak mempunyai pilihan. Semacam
pembodohan lah kalau saya bilang. Kita mencoblos dan memilih orang-orang yang
kita sendiri tidak tahu kapasitasnya seperti apa. Walaupun para caleg ini telah
bekerja keras agar mereka nantinya dipilih oleh masyarakat banyak. Mulai dari
membagi-bagikan brosur yang di dalamnya tertulis janji-janji mereka. Memasang spanduk
dan baliho di fasilitas-fasilitas umum yang di dalamnya juga tertulis
janji-janji mereka. Dan kalau kamu lihat, janji-janji mereka itu tidak
berkualitas semua.
“Bekerja untuk
Rakyat...”
“Apapun untuk
Rakyat...”
“Semua untuk Rakyat...”
Ya,
itulah segelintir janji-janji mereka. Tapi, bukankah janji-janji itu juga
pernah ada di Pemilu 2009 yang lalu? Dan kenyataannya, apakah mereka
benar-benar bekerja untuk rakyat? :)
Inilah alasan
utama saya golput kemarin. Suara saya sangat berharga. Kalau saya asal-asalan
memilih, berarti saya juga asal-asalan dengan harga diri suara saya tersebut. Tidak
akan berpengaruh apa-apa nantinya ke depan. Yang ada hanyalah penyesalan. Sampai-sampai,
ada salah satu teman kost’an saya yang menyesal karena dulu memilih SBY menjadi
Presiden.
“Nyesel dulu milih SBY”
ujarnya kemarin siang kepada saya sambil melihat Quick Count di Metro TV.
Hihihi, sukurin :p
Dan,
ada satu keprihatinan lagi berkaitan dengan Pemilu kemarin. Yang tidak bisa
saya terima dengan akal sehat ialah, GOLKAR berada di tingkat ke-2 perolehan
suara terbanyak setelah Gerindra. Nomor satunya tetap, PDI-P. Ini yang tidak
bisa saya terima. Ada apa dengan masyarakat Indonesia? Kenapa mereka memilih
partai yang jelas-jelas Capres-nya sendiri dari GOLKAR tidak bertanggung jawab
terhadap masalah Lapindo yang terjadi di tahun 2006 hingga sekarang? Kenapa ini
terjadi? Maukah masyarakat Indonesia dipimpin orang yang jelas-jelas tidak
mempunyai kredibilitas tinggi untuk menjadi seorang pemimpin? Kan salah satu
unsur utama seorang pemimpin adalah tanggung jawab. Lah jelas-jelas si Aburizal
Bakrie tidak bertanggung jawab kok terhadap masalah Lapindo yang menimpa
masyarakat Sidoarjo khususnya. Apakah masyarakat Indonesia ingin muncul “Lapindo-Lapindo”
baru disaat si Aburizal ini berkuasa? Ah, ini yang masih menjadi keprihatinan
saya sekarang. Atau jangan-jangan, serangan fajar dari kader partai GOLKAR
paling banyak ya jumlahnya? Ckckck.
Heh, dagu lancip, urusono masalah Lapindomu, cuk! (gambar dari sini) |
Ya, inilah
kehidupan politik bangsa ini. Politik yang masih dilandasi dengan politik
transaksional atau politik uang. Siapa yang mempunyai harta banyak, ialah yang
berhak berkuasa. Itulah iklim politik kita.
Ya,
siapapun kamu orangnya yang terpilih menjadi anggota DPR, DPRD Pusat, atau
apalah saya ndak ngurus, saya ucapkan
selamat karena terpilih. Dan saya harapkan semoga kalian bisa bekerja sesuai
dengan janji kalian ya? Jangan melenceng dari janji-janji anda. Kalau sampai
melenceng, tak sobek-sobek mulutmu. Semvak.
Yasudahlah, ini keprihatinan saya, mana keprihatinanmu?
Salam,
Komentar