Sok
tau.
Sok
Dewasa.
Big
Mouth!
Jadi
begini,
Siang ini,
sesudah kuis Matbis, saya bergegas ke warung kecil sebelah kampus yang bernama “Malik
Cafe”. Kenapa Malik? Yang punya soalnya bernama Pak Malik. Malah si Edo, teman
saya menjulukinya “Maliq and d’Essentials Cafe”. Hahaha. Ada-ada saja.
Oke balik
ke topik. Nah, saya pun segera memesan es teh jumbo kepada Pak Malik. Bukan
karena haus. Melainkan saya butuh untuk mendinginkan otak saya yang panas
gara-gara kuis Matbis. Sial benar soal matbis tadi. Banyak sekali! Saya sampai
bingung harus membuat kolom yang mana terlebih dahulu. Terutama perbedaan
antara gaji kotor dan gaji bersih, belum juga memasukkan komisi dan
asuransi-asuransi yang lainnya. Apalagi, kalkulator saya ketinggalan di kost. Terpaksa,
saya menghitung dengan cara manual. Fyuh.
Tak
lama, es teh jumbo saya pun datang. Saya pun menyedotnya dengan cepat, berharap
kemanisan dari si teh tidak segera berbaur dengan es batu yang mencair.
Slurrrrrppppppp .......
Sedooooooooooootttt.....
Tak tak gentak Josss.....
Ahhhhhh, leganyaa....
Di saat
asyik berduaan dengan es teh jumbo tersebut, tiba-tiba kakak kelas saya laki-laki
yang tidak ingin saya sebutkan namanya disini (anggaplah bernama Paijo)
bertanya kepada saya,
“ Yang dari Mojokerto
sapa aja yang masuk ke univeritas ini? “ tanyanya dengan sopan.
“Banyak mas, aku dulu
bukan dari Aquino, tapi dari seminari “ jawab saya sambil tetap menyedot
“ Oh, seminari mana? “
tanya dia dengan mukanya yang ramah
“ Seminari Garum mas,
di Blitar “ jawab saya sambil tetap menyedot (menyedot teh maksudnya)
(Perlu
kalian ketahui, Seminari disini yang dimaksud adalah sekolah untuk orang-orang
yang memiliki minat menjadi seorang pastor. Perlu kalian ketahui juga,
cita-cita saya dulu adalah menjadi seorang pastor. Tapi itu semua tergantung pilihan
dan kondisi yang ada. Ada beberapa dari teman-teman saya dan juga saya yang
tidak melanjutkan pendidikan menjadi seorang pastor. Hanya mengikuti pendidikan
di Seminari hingga kelas 3 SMA. Selanjutnya, pilihan kami adalah menjadi
seorang awam, bukan pastor).
Tiba-tiba, kakak kelas saya yang
satunya lagi yang juga tidak ingin saya sebutkan namanya disini (anggplah
bernama Bejo) menyerobot perbincangan kami
“ Kamu umur berapa? “ tanyanya
dengan memasang muka bonek.
“ Songolas (19) Mas “ jawab
saya sambil tak menoleh kepadanya.
“ Loh biyen awakmu
seminari to? Lah lapo metu? Pasti kon nafsu ambe arek wedok yo? “ tanyanya
lagi
Jancuk! Sebetulnya saya tidak ingin menjawab pertanyaannya
yang terakhir tadi, tapi karena saya masih sungkan kepadanya, saya pun menjawab
pertanyaanya tersebut
“ Yo gak lah. Ojok kemero
sampean. Aku metu tekan seminari yo enek alasan lain, bukan masalah wedok opo
nafsune” jawab saya dengan muka ketus sambil tetap berlagak cool
“ Yo alasan lain opo
lek gak wedok. Bullshit cuk” jawabnya
Sampai disini
saya diam. Saya geram. Ingin rasanya menonjok mukanya yang sok tahu. Tapi saya
tetap mencoba untuk bersabar. Tetap berkepala dingin. Percuma dong es teh jumbo
saya yang telah mendinginkan otak saya harus terbuang sia-sia meladeni orang
yang sok tahu seperti dia. Sudahlah.
Saya jadi
bertanya-tanya. Apa hak dia mempertanyakan pilihan yang telah saya buat? Apa karena
dia tidak pernah merasakan hidup di seminari, makanya dia bisa berbicara
seperti itu? Hey Bejo, seandainya kamu tahu bagaimana sulitnya menjalani hidup
menjadi seorang pastor, mungkin kamu tidak akan mengeluarkan kata-kata seperti
itu. Jangan sok tahu. Lagian, alasan saya tidak melanjutkan pendidikan menjadi
seorang pastor bukan karena masalah perempuan, tapi masalah hati nurani. Dan memang
saya tidak mau mengungkapkan alasan saya itu. Biarlah saya sendiri yang tahu.
Ini
saya rasa juga sering terjadi di banyak orang. Mungkin juga kamu.
Mempertanyakan pilihan orang lain. Mencoba membuat orang lain mengungkapkan alasan dibalik pilihan yang dia
buat. Tidak bisa dong. Semua manusia pasti punya privasi-nya sendiri sendiri. Yang
bisa kamu lakukan ya menghargai privasinya. Atau lebih tepatnya, menghargai
pilihan yang dia buat.
Saya cuma
mau berkata, jangan sekali-kali mempertanyakan pilihan orang lain. Biarlah dia
sendiri yang tahu. Karena pilihan itu tidak untuk diungkapkan dan dipaksakan,
melainkan dipilih dan dijalani.
Oh ya
Jo, yang perlu kamu ketahui, saya bahagia kok dengan pilihan saya ini :)
Salam,
Komentar