Siang
ini, dalam perjalanan pulang dari kampus menuju kost’an, secara tak sengaja
saya menjumpai iring-iringan banyak orang yang mengantar jenazah yang
meninggal. Ramai sekali suasananya. Sempat membuat macet jalanan beberapa
menit. Yang menggotong kerandanya pun sampai mengucapkan “Allahu Akbar,Allahu
Akbar,Allahu Akbar” sambil menangis. Mungkin, yang meninggal adalah orang yang
dihormati di kampungnya. Kemungkinan juga baik. Dan syukurlah, masih ada orang
baik di dunia ini.
Hanya,
ada yang terlintas. Melihat si penggotong keranda dan yang lainnya menangis,
saya jadi berpikir. Apakah kalau saya meninggal, orang-orang akan bersedih
juga? Apakah ada orang yang menangisi kepergian saya? Berapa banyak yang akan
bersedih? Atau, mereka akan menanggapinya dengan biasa saja?
Pernahkah
kamu berpikir seperti ini juga?
Apakah ukuran
berarti tidaknya hidup seseorang ditentukan dengan banyaknya orang yang
mengantar jenazahnya sampai ke liang kubur? Atau ketika mendengar kamu tiada?
Lantas,
apa yang membuat si penggotong keranda dan yang lainnya menangis? Apakah mereka
pernah ditolong oleh orang yang meninggal tersebut? Atau mereka kehilangan
dengan sosok yang meninggal tersebut?
Apakah perpisahan
itu harus selalu diwarnai dengan air mata? Bukankah seharusnya kita bahagia? Karena
mungkin yang meninggal tersebut sudah dapat tempat yang lebih nyaman di surga
sana dan tidak perlu memikirkan keinginan dunia lagi. Ah, entahlah.
Sekarang,
saya jadi sadar bahwa kematian itu milik semua orang. Ada fase ‘kematian’
sendiri di hidup setiap manusia. Tak perlu dihindari, yang terpenting kita siap
dan bertobat sebelum kematian itu datang. Nah ini masalahnya. Saya sudah sadar,
tapi juga belum bertobat dan tidak melakukan apa-apa. Duh.
Help me,God!
Komentar