Entah kenapa ya hari ini saya rindu
dan bukan kangen kepada teman-teman SMA saya. Ada Qroen, si plegmatis sanguinis
yang wajahnya seperti pelawak Jawa Timur-an, Kirun. Ada Yosafat, si melankolis
sempurna yang diam tapi penuh kreatifitas. Ada pula si Septian, si lugu dan
polos, tapi marahnya menakutkan jika uangnya diambil (ya iyalah!). ada Jati, si
plegmatis yang penuh kreatifitas dan seorang ilustrator di majalah SMA kami
dulu. Ada Wika, anak yang pandai bertutur kata dan pintar berfilosofi. Ada juga
si Beni, seorang yang simple, tampang culun, tapi pintar bermain segala alat
musik dan berolahraga. Ya banyak lah teman-teman SMA saya. Mending disebutin
aja ya namanya. Kalo dijelasin satu persatu, akan lebih mirip tulisan
perpisahan sekolah. Hahaha. Next, ada Ivo, Tomy, Carel, Ardian, Sius, Shandy,
Bertus, Aldo, Ovan, Brahm, Joshua, Lukas, Gyo, Yoga, Edwin, Veven, Divin, Adit,
Dean, Wahyu, Nico. Kami semua punya slogan, yakni AHE!HURA!UMBAH-UMBAH SEMPAK!
(slogan ini serius ada, bukan sekedar hoax).
*****
Ya,
saya kangen dengan masa-masa SMA. Betul kata orang-orang, SMA adalah masa
dimana seorang remaja bertindak lebih liar daripada masa-masa sebelumnya.
Begitu pula dengan kami. Kami liar! Tapi liarnya bukan seperti binatang. Pernah
ya, pas kelas 11, kami semua berencana tidur waktu pelajaran Sosiologi (karena
memang saya anak IPS). Dan apa yang terjadi? Ya, seisi kelas tersebut tidur
semua. Padahal Pak Boyni (guru Sosiologi) sedang full bacot menerangkan bab tentang penelitian yang berguna buat
kepentingan penelitian kami yang akan dimulai besoknya. Hahaha. Gila memang.
Dan kejadian “nakal” ini akhirnya menjadi kebiasaan di kelas kami. Yang saya
herankan, Pak Boyni ini tidak pernah marah dan tidak pernah menegur kami. Malah
membiarkan dan kelihatannya mendukung aksi gila kami ini. haha. Mungkin dia
memang diberi kesabaran lebih oleh Tuhan. Hahaha. Asoi lah pokoknya.
Pernah
juga kami makan Mie Sedap di dalam kelas. Sudah pantas dan selayaknya kami
lapar waktu pelajaran di kelas berlangsung. Ya, namanya juga masa pertumbuhan.
Butuh energi dan makan banyak supaya bisa tumbuh. Ya, dan bisa ditebak, Mie
Sedap itu menjadi korban dari perut kami semua. Hahaha. Dan yang unik, mie
sedapnya ini tidak dimasak, melainkan di kremes.
Jadi caranya gampang aja. Buka mienya, kremes
mienya, campur dengan bumbu mie sedapnya, terus dikocok deh. Dan siap disantap.
Sederhana, tapi bermakna! Karena dimakan bersama-sama dalam kesederhanaan yang
akhirnya meningkatkan persahabatan kita. Terkadang kami makan di dalam kelas
sambil sharing, kadang cangkrukan di
depan kelas sambil nyanyi-nyanyi teriak-teriak ga jelas. Sungguh, suasana yang
membuat rindu.
Ada lagi kisah liar yang saya punyai. Misalnya, mendekati UNAS, kelas
kami dipindah ke ruangan Laboratorium Bahasa, tempat yang seperti surga bagi
kami. Ada AC-nya, alasnya beralaskan karpet warna hijau muda, ada audionya di
setiap meja, ada TV-nya, ada speaker audio yang bergabung dengan audio di meja
kami masing-masing. Jadilah kelas yang
mungkin lebih mirip seperti bar daripada kelas. Iya betul. Karena ketika mood
kami untuk belajar hilang, kami lebih memilih mendengarkan musik yang
tersambung dengan speaker . Dentuman musik lebih mengasyikkan daripada belajar.
Hahaha. Dan kebetulan juga, lab bahasa ini kedap suara. Jadi tidak terdengar
apapun ketika guru-guru melewati kelas kami. Gila. Sangar. Gendeng cuk! Hahaha.
Tanpa
adanya teman-teman ini, saya mungkin tidak bisa merasakan yang namanya hiking dan camping di puncak Gunung Panderman yang berada di Batu, Malang. Perjalanan
menuju ke puncak sangat berat. Licin, becek, terpaan angin yang buanter banget, pohon tumbang yang harus
kami lompati. Benar kata para pendaki-pendaki gunung yang hebat, naik gunung
dapat menampakkan sifat asli kami. Kelihatan sekali sifat teman-teman saya yang
tidak bisa saya temui ketika berada di kelas. Peduli, peka, jabat tangan membantu
teman yang gendut untuk naik. Ya, semuanya kelihatan. Dan itu membanggakan! Saya
salut dengan mereka semua. Mereka alami membantu tanpa dibuat-buat.
Masih
banyak lagi pengalaman-pengalaman liar kami. Membuat tempe penyet di kelas
dimana semua anak-anaknya membawa nasi sendiri-sendiri. Mencuri buah matoa,
buah yang rasanya mirip kelengkeng dicampur durian di atap ruang tamu sekolah. Gelut dengan adik kelas yang memang
dasarnya melete atau dalam bahasa
gaulnya “rese”. Push up bersama
karena menyanyi dan gitaran di dalam kelas (karena memang dasarnya sudah
dilarang). Tapi kejadian-kejadian itu semakin menimbulkan rasa kekeluargaan
yang sangat. Sehingga ketika diharuskan oleh takdir untuk berpisah dan
melanjutkan kuliah, kami menangis. Terlebih saya. Bukan karena cengeng atau gembeng, tapi ya karena itu tadi, saya
sudah nyaman, comfort¸kompak di
angkatan ini. Sudah seperti keluarga kedua saya. Tapi, saya harus realistis. Setiap
ada perjumpaan, selalu ada perpisahan. Di masa depanlah mungkin saya dipertemukan
kembali dengan mereka semua. Orang kalau mau sukses kan harus keluar dari zona
nyaman, toh?
Siapa yang lebih sedap dipandang? pasti saya hehehe :) |
Ya
sudahlah, sebentar ya, saya mau menaklukkan dunia ini dulu.
Salam :)
*Karena koneksi internet lagi lemot, agak susah mengupload semua foto.
nanti saja ya saya postingkan foto-fotonya. Pasti!
Komentar