Saya mempunyai anggapan bahwa
orang-orang yang meninggal di usia muda adalah orang-orang yang baik dan telah
menyelesaikan tugas hidupnya di dunia ini dengan baik pula. Logikanya, Sang
Pencipta memanggil mereka untuk berperang dengan iblis-iblis yang semakin lama
semakin banyak jumlahnya, khususnya di dunia fana ini. Dan syukurlah, Tuhan masih sempat menciptakan orang-orang
baik. Padahal kamu mungkin pernah mendengar bahwa semakin lama, orang-orang
baik di dunia semakin langka. Tapi syukurlah saya, karena masih berkesempatan
bertemu dengan orang baik.
**********
Ninoy
Christian Da Silva, nama yang bagus untuk orang sebaik dia. Biasa saya
memanggilnya Ian. Tapi tragis, Ian harus meninggalkan kami semua untuk
selama-lamanya karena kecelakaan yang terjadi 24 Agustus 2014 yang lalu. Saya
dan semua kawan yang lain tentu tak menyangka dengan kepergian almarhum yang
begitu cepat. Padahal baru saja kami semua bersama-sama menghabiskan waktu
dengan almarhum di suatu tempat di daerah Trawas akhir Juli lalu. Ada rasa
sedih yang begitu mendalam jika mengingat semua kenangan indah yang dia
tinggalkan untuk kami semua, khususnya saya.
Saya
mengenal Ian 2 tahun yang lalu. Kebetulan pula, Ian adalah adik kandung dari
Aerens, teman saya semasa saya masih hidup di Seminari. Jadi, saya tahu persis
bagaimana perjuangan kedua kakak beradik ini untuk mencapai cita-cita yang
mereka berdua idam-idamkan. Sang kakak Aerens, kini menjalani pembinaan untuk
menjadi rahib di Kongregasi OCSO. Dan Ian sendiri bercita-cita menjadi arsitek
terkenal seperti Romo Mangunwijaya. Namun, cita-citanya mungkin akan dia dapat
kelak di surga sana. Mungkin saja di surga sana, dia akan membangun tempat yang
begitu indah untuk para malaikat dan untuk kita semua. Semoga.
Ian
orang yang ramah, ceria, slengekan,
dan tegar. Tak heran banyak teman yang menyanyangi dan ingin berteman dengannya.
Hampir setiap perjumpaan dengan dia di kampus ataupun di gereja, tak pernah
terlintas raut kesedihan dan kesusahan dari wajahnya. Padahal, jika melihat
kembali pengalaman hidupnya, banyak kesusahan dan penderitaan yang dia alami
bersama keluarganya. Ya, Aerens dan Ian ditinggalkan oleh ayahnya ketika mereka
berdua masih kecil. Sehingga roda kehidupan keluarga mereka menukik tajam ke
bawah. Sang ibu menjadi satu-satunya penopang kehidupan mereka. Tapi baiknya,
Ian tak pernah menunjukkan bahwa dia sedang mengalami kesusahan. Mungkin bagi
dia, penderitaan adalah jalan menuju kebahagiaan yang paling mulia daripada menangisi
dan meratapi penderitaan. Salut.
Banyak
pengalaman-pengalaman indah yang saya alami dengan Ian. Salah satunya 2 bulan
yang lalu, saat kami berdua sharring
kehidupan bersama kawan kami lainnya yakni Stefanus, Angga, dan Valent di basecamp yang disediakan oleh Romo Andre di Gereja
Redemptor Mundi Surabaya. Salah satu topik di malam itu ialah “pulang malam”.
Ya, Ian menceritakan pengalamannya kena begal tangan-tangan jahat yang ada di Surabaya. Dan
ia berpesan satu hal kepada kami semua di malam itu;
“Makanya, jangan pulang malam-malam ya, bro. Surabaya tidak seaman yang
kamu kira”
Begitu pesannya
kepada kami semua. Tapi tragisnya, ia meninggal disaat perjalanan pulang menuju
rumahnya pukul 01.00 dinihari. Pesan yang dia sampaikan 2 bulan lalu terasa
baru saja terucap lewat mulutnya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Toh pesan dia
ini akan selalu saya ingat terus.
Ada lagi
pengalaman lainnya. Ini terjadi ketika saya dan Ian berkelompok pada saat live in di daerah Trawas akhir Juni
lalu. Dalam perjalanan menuju rumah warga yang akan kami tinggali, kami banyak
bercerita dan melewatinya dengan guyonan. Menggoda orang yang sedang kencing di
pinggir sungai, menggoda bunga desa yang lewat, dan banyak tingkah konyol Ian
yang membuat saya ngakak saat itu. Maka dari itu, solusi di saat saya sedang
depresi dengan banyaknya tugas ya berkumpul dan guyon dengan Ian dan kawan
kawan lain macam Edo, Angga, Stefanus, Valent, dan lainnya. Tak heran, sempat
saya rasakan betapa betahnya saya berada di antara orang-orang tersebut.
Bersama mereka, saya menemukan kembali kotak tertawa saya yang telah lama
hilang sehingga menjadikan saya pendiam. Bersama mereka, saya tahu apa arti
persahabatan yang sesungguhnya. Terkhusus bersama Ian. Tak segan-segan ia
meminjami saya uang di saat saya sedang butuh uang. Dan hebatnya, tak pernah
satupun terucap “Kapan kamu balikin
uangnya?” dari mulut Ian. Ia memang benar-benar tulus membantu temannya.
Ah, saya tak tahu akan menjadi apa ke depannya tanpa kau, Ian.
Kini, mungkin
dalam beberapa waktu ke depan, akan terasa berat bagi saya dan kawan-kawan
karib lain mengarungi hidup ini tanpa ditemani oleh hadirnya seorang Ian. Canda
dan tawanya yang khas mungkin menjadi pengingat di saat saya sedang suntuk.
Sungguh, terasa berat kehilangan seseorang yang mengajarkan saya bagaimana
menghadapi penderitaan dengan tetap tersenyum. Dengan tetap membantu sesama
yang kesusahan disaat kita sendiri sedang menderita. Itu yang Ian ajarkan
kepada saya.
Ya, Ian juga
manusia biasa. Juga mengalami penderitaan. Dan juga manusia yang akan kembali
kepada Pencipta-Nya ketika waktunya sudah berakhir di dunia ini. Seharusnya
saya bersyukur karena penderitaan yang saya alami tidak seberat penderitaan
yang dialami Ian. Saya yakin, orang-orang seperti Ian ini-lah yang nantinya
akan begitu kuat dalam menjalani hidup. Mereka akan dengan mudahnya menaklukkan
terjalnya kehidupan. Dan, hal itu terbukti dari pembawaan Ian sehari hari dalam
kehidupannya. Saya ulangi, tak pernah sekali pun saya menemui Ian berwajah
murung menangisi penderitaannya. Saya salut dengan ketegaranmu, kawan!
Saya sudah tak
sanggup berkata apa-apa lagi. Saya hanya bisa mendoakan kamu dari sini, Ian.
Maafkan saya karena jarang mengunjungimu. Saya berjanji akan terus mendoakanmu.
Dan mendoakan keluargamu juga, khususnya kakakmu, si Aerens dalam menjalani
pembinaannya sebagai seorang rahib di Pertapaan Rawaseneng sana.
**********
Ada sesuatu hal yang sebaiknya
dibiarkan menjadi kenangan. Hal-hal yang membuat kita menjadi sentimentil,
melankolis, atau merenung. Malam ini saya membiarkan kenangan persahabatan
bersama Ian itu terlarut di sanubari. Mengalir begitu saja tanpa henti.
Mengingat kebersamaan yang tidak untuk dilupakan, tapi untuk dikenang
selamanya. Mengingat kembali jargon-jargon khasnya yang begitu melekat di
kepala saya macam “Buzz!”, kemudian “Ngek” dan jargon lainnya yang sukses
memecah tawa saya dan kawan-kawan disaat kami sedang berkumpul. Sembari ngopi
dan bercengkerama tentang banyak hal. Mulai dari musik, politik, bursa transfer
pemain bola terpanas, perempuan cantik, laki-laki brengsek, hingga sok-sokan
berfilsafat mengenai masa depan. Kalau bicara mengenai masa depan, ada satu
kalimat indah yang terucap lewat mulut seorang Ian,
“Aku ingin membantu keluargaku. Membelikan ibu rumah, buzz! Pokoke
cita-citaku iku tok” ucapnya dengan tegas.
Cita-cita yang mulia sekali. Mulia
karena tumbuh dari dalamnya hati seorang Ian. Dan mulia, karena masih mengingat
seseorang yang membesarkannya seorang diri. Seolah tak lupa dengan pengorbanan
sang ibu.
**********
Hanya
ini yang bisa saya tuliskan mengenai pengalaman saya dengan Ian. Saya tahu,
tulisan ini tak sanggup mengungkapkan seperti apa Ian sebenarnya kalau kamu
tidak bertemu langsung dengan orangnya. Biarlah itu semua menjadi kenangan yang
tersimpan rapi di otak sebelah kanan merepet sedikit ke kiri otak saya. Tidak
untuk dilupakan. Kelak, entah kapan itu, saya akan mengingat kembali pengalaman
dengan Ian. Karena sesungguhnya, pengalaman ini tidak untuk dilupakan, tetapi
untuk dikenang. Selamanya.
Dan malam ini, saya kembali
menitikkan air mata dalam keheningan.
Selamat Jalan, Ian.
Pusara sang Kawan. |
Suasana pemakaman Ian :') |
Selamat Jalan, Ian |
Komentar