Surabaya
pagi itu sedang terik. Namun saya masih bisa tersenyum. Karena di hari itu (Jum’at,
10/1/2014) saya berencana berangkat ke Malang. Malang yang selalu dan akan
tetap punya aura untuk mengintimidasi saya. Entah mengintimidasi yang
bagaimana, yang jelas itu yang saya rasakan di pengalaman bawah sadar saya. Aishhh,
sok paranormal.
Salam,
Rencananya,
saya dan beberapa kawan karib akan mengunjungi teman-teman saya dulu semasa SMA
yang sekarang sedang menjalani pembinaan menjadi pastur di salah satu seminari
tinggi di Malang sana. Jadi berangkatlah saya. Rencana awalnya sih berangkat sama
Kirun. Tapi karena Kirun sedang berhalangan berangkat dan harus mengiringi
pernikahan di gerejanya, jadilah saya berangkat sendirian. Jujur, saya sedikit
bosan ketika harus pergi bolak balik ke Malang sendirian. Yang saya rasakan,
saya merasa sendiri di jalanan. Tapi, dari beberapa perjalanan yang telah saya
lakukan, saya menemukan sedikit esensi dibalik perjalanan yang sendiri itu.
“Kamu tak akan pernah merasa sendirian ketika
berada di jalanan”.
Ya itu yang saya temukan. Dari beberapa kali
perjalanan yang telah saya lakukan, saya merasa bersyukur. Bersyukur karena
apa? Bersyukur karena di tengah kesendirian saya di jalan, saya menemukan
banyak teman-teman baru. Saya kenal dengan Mas Pandu, mahasiswa jurusan
Komunikasi Universitas Brawijaya sekaligus penyiar radio di salah satu radio di
Malang yang saya temui ketika perjalanan menuju ke Malang. Dan lucunya, sampai
sekarang kami masih sering menyapa dan menanyakan keadaan walaupun hanya lewat
pesan singkat. Saya kenal dengan Pak Kemi,
pria paruh baya berambut putih penjaga parkir di depan Pujasera MX
Malang. Beliau banyak bercerita tentang kesulitannya. Tentang kegagahannya dulu
ketika menjadi prajurit berbambu runcing saat terjadinya perang melawan Belanda
di Surabaya.
“Kulo niki veteran perang loh dik, tapi kulo boten gelem niku disanjung
kaliyan pemerintah. Kan pemerintah ngekei kulo tanda penghargaan kalian uang
pensiun. Tapi yo niku, kulo tolak. Amargi ngeling-ngeling lek kulo perang niku
gawe bangsa lan negara, boten gawe arta (uang)” ujarnya sambil menyeruput
kopi hitamnya yang pahit.
Saya merasa bersyukur. Dan untunglah,
sampai sekarang saya belum menemukan titik jenuh terdalam saat melakukan
perjalanan seorang diri.
Ya kan, khotbah lagi. Blegug!
Saya berangkat dari Surabaya
pukul 14.00 WIB. Waktu itu langit sedikit mendung. Membuat hawa panas Surabaya
yang kurang ajar itu menjadi sedikit sopan kepada saya. Dan tiba di Malang
pukul 16.15 WIB. Untunglah, Malang menyambut ramah saya dengan mendungnya yang
mempesona. Membuat Malang semakin menjadi kota yang syahdu dan indah. Hehehe.
Pertama kali yang saya kunjungi
ya tentu pacar. Si Fitri udah ngomel-ngomel. Hihihi. Katanya “Bendungan rinduku
udah jebol nih”. Hihihi. Gombal. Akhirnya, saya mengajak jalan-jalan Fitri
dulu. Rencananya, kami berdua akan menonton film-nya Jakckie Chan yang terbaru
itu. Judulnya “Police Story II”. Tapi ketika berada di depan pintu masuk 21 Cinema, Fitri berujar ;
“Kok tiba-tiba males nonton ya
aku?” ujarnya sambil manyun.
Ababil.
Yasudah, karena rencana awal
gagal, akhirnya kami berdua ngemil di foodcourtnya
Matos. Memesan kentang dan teh tarik. Sambil bercerita. Bergurau. Menuangkan segala
kerinduan di tengah kudapan yang sederhana. Indah.
Setelah itu, kami berdua pergi
bermain ke Timezone. Jadi begini awal ceritanya. Kami berdua sedang
mengumpulkan tiket Timezone sebanyak-banyaknya yang rencananya akan kami tukarkan
di bulan Desember 2014. Nah, hadiah dari tiket tersebut nantinya akan
ditukarkan hadiah yang mengingatkan perjuangan kami untuk mendapatkan hadiah
itu. Begitu sih. Jadi ketika melihat hadiah itu, teringat “Iya, ini kan hadiah dulu kita berjuang bersama-sama ya”. Itu sih
harapannya. Emang konyol sih. Tapi, bukankah kebahagiaan bisa diperoleh dari
hal-hal yang konyol dan sederhana? :)
Selanjutnya, karena hari sudah
larut, akhirnya kami sepakat untuk mengakhiri pertemuan kami hari itu. Si Fitri
masih dengan wajah manjanya merengek agar jangan pulang dulu. Tapi akhirnya dia
mengalah ketika mengetahui bahwa badan saya sedikit panas.
“Yasudah deh, pulang aja. Kasihan kamu sakit. Nanti kalau
kamu sakit, terus gak sembuh sembuh, aku jalan-jalan sama siapaaaaaa?” ujar dia
sambil tetap merengek.
Alay. Hihihi :p
Setelah
mengantarkan Fitri kembali ke kost-nya, saya mengirim pesan singkat ke Septian;
“Sep, aku otw budal nang kontrakane Beni”
ujar saya.
Karena
Septi lupa jalan menuju ke arah kontrakannya Beni, akhirnya saya menunggunya di
depan gang masuk perumahannya si Beni. Tak sampai 15 menit, datanglah Septi
gagah dengan GL Max-nya.
“Ayo bro!” ajak dia sambil tersenyum persis Shakruh Khan.
Tak sampai
10 menit, kami berdua telah sampai di kontrakannya Beni. Disambut oleh sang
empunya kontrakan dengan tawanya yang nggilani. Hihihi.
Selesai
mandi, kami bertiga yakni saya, Septi, dan Beni sharing pengalaman kami
masing-masing. Cerita-cerita. Cuap cuap. Sambil bermain PES di laptopnya Beni .
Hingga mulut dan mata pegal sekitar pukul 23.41 WIB. Selesai itu, kami tertidur
dalam keheningan malam.
***
Esok harinya,
saya terbangun ketika Beni menggoyang-goyangkan tubuh saya
“Hey Lik, tangi tangi, wes isuk. Bangkong ae”. Ujar Beni dengan
muka kusutnya.
Akhirnya
saya pun bangun. Sejenak merenggangkan otot-otot tubuh yang kaku ketika tidur.
Kretek kretek kretek. Segar!
Tujuan saya
hari itu mengunjungi kawan-kawan SMA di salah satu seminari tinggi di Malang. Ada
kenangan terlintas ketika mengingat kawan-kawan SMA saya tersebut. Kenangan
yang akhirnya membuat saya dan kedua teman saya ini bersemangat mengunjunginya.
Tepat pukul
10.00 WIB, kami bertiga berangkat. Beni naik GL-Max dengan Septian, sedangkan
saya menaiki Beat putih biru kesayangan saya. Perjalanan hanya memakan waktu
sekitar 30 menit. Sebenarnya bisa lebih singkat dari 30 menit. Tapi karena
Malang yang dari tahun ke tahun semakin macet, yasudahlah akhirnya kami rela
didustai oleh kemacetan tersebut. Tapi tak apalah, ibaratnya, sebelum bertemu
kebahagiaan (baca : teman-teman SMA saya), kami harus melewati kesengsaraan
dulu ( baca : kemacetan ).
Gerbang
Seminari untuk para novisiat CM terbuka lebar ketika kami sampai disana. Kami bertiga
pun masuk dan menjumpai kawan-kawan SMA saya yang berjumlah 4 orang sedang
bekerja membersihkan taman. Ada Ovan, Aldo, Rinto, dan Bertus. Mereka menurut
saya, adalah 4 pemuda yang sangat sangat super duper hebat. Berani meninggalkan
duniawi dan menggantinya dengan kehidupan illahi. Ketika melihat mereka, saya
melihat ke diri saya sendiri. “Apa yang bisa saya banggakan?” Ah, tapi pernyataan ini hilang sekejap ketika
saya mendapat salam dari Ovan, salah satu dari 4 pemuda hebat ini.
Kami diajak
masuk ke ruang tamu novisiat CM. Disuguhi sekaleng wafer dan minum. Sambil bercerita
dan merayakan kenangan. Baik dan buruk lantas menjadi lucu. Menjadi sebuah
reuni kecil di tahun ini. Banyak hal yang kami ceritakan. Mulai dari Joshua,
salah satu teman kami yang keluar pembinaan dari pendidikan pastur, kemudian
berlanjut ke sepakbola. Berlanjut lagi ke pertanyaan-pertanyaan seputar kuliah.
Sambil nyemil wafer. Lanjut cerita lagi tentang pergulatan mereka di dalam
seminari itu. Ada yang kuat, ada yang saat ini sedang resah dengan panggilannya
menjadi utusan Tuhan. Banyak. Saya merasa kembali lagi ke seminari. Tapi dalam
ukuran yang kecil. Nuansa hangat sangat jelas terpancar saat itu. Kami semua
tertawa, melihat tingkahnya Aldo yang masih tetap sama konyolnya. Melihat senyum
senyum tipis dari Bertus dan Rinto, dan melihat kekuatan Ovan yang kelihatannya
semakin mantap dengan jalan Panggilannya tersebut.
Seiring
bertambahnya usia, kami sadar bahwa tanggung jawab semuanya yang berkumpul di
ruangan kecil itu semakin besar pula. Dan tanggung jawab itu harus diimbangi
pula dengan kedewasaan. Kurangi bersenang-senang. Mulai tatap masa depan. Dan itulah
yang sedang kami semua cari di dunia ini. Masa depan kami! Bertemu dengan
mereka membuat saya sadar bahwa dukungan teman-teman dan seseorang yang sayang
kepada kita berguna terhadap diri kita. Itulah ajaibnya kenangan. Melihat kenangan
tersebut sebagai sebuah dukungan. Dan juga itulah ajaibnya waktu. Ia bisa
membuat luka seperih apapun menjadi tawa yang berderai-derai dengan berkumpul.
Siang semakin
menjelang. Selesai makan siang, kami bertiga pamit ke mereka berempat untuk
kembali lagi ke kejamnya dunia. Tapi sayangnya, kami lupa untuk berfoto. Pasalnya,
Si Kirun saat itu sedang dalam perjalanan menuju ke Malang. Karena kami ingin
berfoto lengkap bersama si Kirun, akhirnya kami menunda hingga Kirun datang. Tapi,
karena Kirun datang terlambat, dan di saat itu kami bertiga juga sudah kembali
ke kontrakannya si Beni, hilanglah sudah kesempatan untuk berfoto bersama
mereka. Ah, salah satu kebodohan di reuni kecil yang sangat berharga di tahun
ini. Tapi tak apalah. Wajah mereka berempat masih segar di ingatan hingga
tulisan ini dibuat. Cukup untuk menggantikan selembar foto yang sebenarnya juga
bermakna. Haduh.
Ya,
sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan. Tapi karena malam semakin
menua dan tugas kampus yang semakin membludak, sampai disini saja ya ceritanya.
Kapan-kapan saya lanjutkan lagi. Hihihi.
Oia,
maafkan kalau ada kata-kata yang membuatmu bingung ya. Maklum, saya kan
orangnya membingungkan.
Bingung kan? Maafkan.
Septian, Saya, dan Aldo. Trio Koplak! |
Ovan, yang terkuat di antara 4 pemuda hebat |
Bertus, si Ganteng dari Pagesangan. Hihihi |
Si empunya kontrakan, Beni |
Rinto ( sumpah gaya opo kon to iku). Hahaha |
Salam,
Komentar