Sudah hampir
6 bulan ini, saya tak bertemu dengan ayah. Dan tepat di hari ini saat hujan
sedang giatnya mengguyur Surabaya, saya rindu dengan ayah. Kehadirannya,
leluconnya bercampur menjadi satu. Tak lagi kangen, tapi rindu. Menjamur. Apalagi
sambil mendengarkan The Script melantunkan For The First Time-nya. Duh, semakin
gundah gulana malam ini.
Ludevikus
Iwan Kusuma. Nama lengkap ayah. Biasa dipanggil Iwan. Penganggum Iwan Fals. Sering
dia menggondrongkan rambutnya hanya demi sebuah kemiripan dengan Iwan Fals. Padahal
kalau boleh jujur, Iwan Fals lebih keren daripada Iwan Kusuma. Hehehe.
Ayah gondrong,
jarang mandi, senang menggelandang, sabar, slengekan. Sangat berbanding
terbalik dengan ibu yang rapi, disiplin, tegas. Tak ada dari sudut pandang
manapun yang mampu menyatukan kedua pasangan ini. Tapi cinta ternyata menang
dan menyatukan mereka.
Pernikahan Ayah dan Ibu |
Dulu
kalau ingatan belum berkhianat, ayah sering berkaraoke di rumah. Menyanyikan tembang-tembang
lawas macam Broery Marantika, Lobow, Bob Tutupoly, dan tentu Iwan Fals. Jadi begini.
Ayah bangun, langsung ke ruang tamu, menyalakan VCD Player dan sound system,
bernyanyi 30 detik, ibu datang, merebut mic, terjadi perdebatan sengit di
antara mereka, dan selalu ayah mengalah. Jadi akhirnya yang bernyanyi ya ibu.
“Daripada rame nanti” begitu kata ayah kepada saya.
Ini salah
satu sifat yang saya kagumi dari ayah. Kesabarannya. Tapi jangan tanya kalau
dia marah. Kalau marah, dia diam. Diamnya itu yang membuat saya jengkel dan
takut. Jengkel karena kalau beliau marah gara-gara saya, pasti saya tidak
pernah dikasih uang saku. Dan takut karena diamnya itu. Betul kata orang, diam
adalah salah satu bentuk marah yang paling menakutkan.
Ayah yang kelihatannya sok gaul :) |
Semasa saya
kecil, ayah bekerja sebagai seorang manajer salah satu perusahaan oli terkemuka
di dunia yang memegang salah satu cabang di Surabaya. Tak pelak, keluarga kami
hidup dalam kondisi kecukupan. Tapi ada suatu masa dimana ayah ditipu pelak
oleh seorang kawannya sendiri. Akhirnya, ayah keluar dari perusahaan tersebut
dan mulai bekerja serabutan. Beruntung, ada salah seorang kawannya yang
memanggil dia dan memperkerjakan dia sebagai sopir tanki air. Jadi tugasnya
mengambil air di sumber-sumber air yang ada di pegunungan daerah Trawas. Setiap
hari ayah mengambil air dengan membawa truk tanki-nya yang berwarna perak itu.
Sering saya diajak oleh ayah untuk menemaninya mengambil air. Menyenangkan sekali
jika mengingat pengalaman itu. Walaupun hidup dalam kondisi kekurangan, tapi
kami bahagia. Tak dimunafikkan dengan kehadiran uang. Semua berjalan apa adanya.
Indah
Akhirnya,
di pertengahan tahun 2006, kawan ayah saya yang memperkerjakan dia memberinya
sebuah modal untuk membuka usaha PJTKI di Kota Kupang, NTT. Ayah yang pada
dasarnya bonek dan pekerja keras akhirnya mengambil modal tersebut dan mulai
membuka kantornya di NTT sana. Padahal, ayah tidak punya pengalaman apa-apa di
bidang PJTKI tersebut. Nekat puoll.
Nah,
pekerjaannya inilah yang membuat saya dan beliau menjadi jauh. Ayah pulang
setiap 1 bulan sekali. Kadang 2 bulan. Dan berada di rumah paling lama 1
minggu. Ketika berada di rumah pun, dia juga masih mengurus pekerjaannya. Jadi jika
ditotal, waktu yang dia gunakan tercurah semua di pekerjaannya. Memang sih,
usaha ayah ini berkembang pesat. Keluarga kami hidup kembali. Semua serba ada. Mobil
sampai ada 3. Serba kecukupan lah. Tapi, ada yang berubah di ayah. Ayah tak
lagi seperti ayah yang dulu. Entah apa itu yang berubah, tapi itu yang saya
rasakan.
Ah,
sudahlah saya tak mau melanjutkan bagian yang ini. Kapan-kapan saja saya
lanjutkan.
Sekarang,
ayah masih bertahan dengan usahanya tersebut. Kantornya tidak lagi di NTT, tapi
di Semarang. Saya rindu sekali dengannya. Jarak yang memisahkan kami ternyata
lebih kuat dari perasaan rindu ini. Saya hanya merasa kasihan dengan adik-adik
saya. Mereka butuh sosok ayah. Tapi, ayah seakan tak peduli dengan hal itu. Yang
dia pikirkan sekarang hanya uang,uang, dan uang. Dan yang saya dapatkan dari
dia ya hanya uang, bersifat materi saja. Sekali lagi betul kata orang, uang
memunafikkan segalanya. Biasanya saya menangis sesenggukan disaat menjelang
tidur ketika mengingat ayah.
Foto ayah 1 tahun yang lalu. (Maaf kalau agak blur, karena memang resolusinya kecil.) |
Dan saat
saya menulis ini, saya kembali menitikkan air mata. Tanpa suara.
Malam ini
dingin, dan saya menangis dalam diam...
Surabaya, 18 Desember
2013
Sembari mendengarkan For
The First Time terus menerus
Kapan kita bisa bertemu lagi, yah? :)
Komentar